Dialog untuk Menyelamatkan Bumi

Oleh: Iriana Bakti

Dosen Fikom Unpad

 

Apakah pernah kita merasa bahwa cuaca semakin sulit diprediksi? Musim hujan yang datang terlalu cepat atau justru terlambat, panas matahari yang menyengat kulit hingga menyebabkan sakit kepala, atau banjir yang tiba-tiba menghentikan aktivitas kota besar. Semua ini bukan sekadar perubahan cuaca biasa. Itu adalah tanda-tanda krisis iklim yang semakin nyata, semakin dekat, dan semakin memengaruhi kehidupan sehari-hari kita.

Perubahan Iklim. Pemanasan Global. Banyak istilah yang digunakan untuk menggambarkan peristiwa alam ini, namun sering kali masyarakat masih melihat isu ini sebagai sesuatu yang jauh, tidak nyata, dan hanya menjadi kajian para ahli. Padahal, krisis iklim semakin dekat dengan kehidupan sehari-hari kita: harga kebutuhan pokok yang meningkat akibat gagal panen, udara yang menyebabkan anak-anak sering sakit, hingga sumur warga yang mengering karena berkurangnya air tanah.

Yang lebih mengkhawatirkan, krisis ini tidak hanya berkaitan dengan lingkungan, tetapi juga dengan komunikasi. Data bisa menumpuk, laporan bisa berjilid-jilid, kebijakan bisa berderet panjang.

Namun, segalanya menjadi sia-sia ketika pesan mengenai krisis iklim tidak sampai kepada masyarakat dengan cara yang dapat dipahami, diterima, dan direspons. Inilah yang kemudian disebut sebagai krisis ganda, double jeopardy: krisis lingkungan dan krisis komunikasi.

Mari kita bawa fakta global ke dalam konteks lokal. Berdasarkan Organisasi Meteorologi Dunia, tahun 2024 menjadi yang terpanas dalam sejarah. Indonesia mengalami lebih dari 120 hari tambahan dengan suhu panas ekstrem. Artinya, sepertiga tahun kita habiskan dalam kondisi suhu yang tidak lagi biasa.

Di Jawa Barat, keadaannya lebih rumit. Provinsi kami menjadi wilayah yang paling sering terkena cuaca ekstrem di Indonesia. Mulai dari banjir bandang, tanah longsor, kekeringan yang berkepanjangan, hingga gelombang panas yang memengaruhi kesehatan ribuan orang. Studi Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Jawa Barat bahkan menunjukkan bahwa kita sedang menghadapi krisis air bersih.

Di tengah ancaman ini, kita perlu jujur bahwa komunikasi lingkungan di Indonesia menghadapi tantangan besar. Meskipun informasi dan penelitian tentang isu-isu lingkungan tersedia dalam jumlah yang banyak, kesadaran masyarakat masih sangat rendah. Banyak orang merasa masalah iklim tidak berkaitan langsung dengan kehidupan mereka.

Sejauh ini kita terlalu yakin bahwa fakta ilmiah sudah cukup untuk memengaruhi masyarakat. Padahal, manusia lebih mudah terpengaruh oleh kisah, perasaan, dan pengalaman nyata. Influencer menjadi lebih berpengaruh daripada para peneliti. Kita sering melewatkan proses dialog, mengharapkan slogan singkat bisa mengubah perilaku. Padahal, perubahan sosial selalu membutuhkan percakapan mendalam dan saling mendengarkan.

Inklusi

Untuk keluar dari situasi yang membosankan ini, kita memerlukan pendekatan baru: komunikasi lingkungan yang menyeluruh. Komunikasi seperti ini tidak berhenti pada penyebaran informasi satu arah. Ia menciptakan ruang dialog yang adil, mendengarkan suara yang sering diabaikan, dan memastikan semua orang memiliki kesempatan untuk terlibat dalam isu ini.

Komunikasi lingkungan yang inklusif mengakui keragaman suara, mulai dari pejabat hingga petani kecil, ilmuwan hingga masyarakat adat, perusahaan besar hingga kelompok yang kurang beruntung.

Keterbukaan menekankan keadilan, bukan hanya dalam menyampaikan fakta iklim, tetapi juga dalam mengungkap siapa yang paling bertanggung jawab dan siapa yang paling terkena dampak.

Di atas segalanya, komunikasi yang inklusif menolak monolog. Ia mengharapkan dialog, percakapan yang saling melengkapi, bukan hanya sekadar sosialisasi dari atas ke bawah. Langkah pertama dalam komunikasi yang inklusif adalah memperkuat literasi lingkungan.

Namun, hanya memiliki literasi saja tidak cukup. Kesadaran harus diwujudkan dalam partisipasi publik yang nyata. Sayangnya, partisipasi sering kali hanya bersifat formalitas. Warga diundang dalam rapat, diminta untuk hadir dan mendengarkan, tetapi keputusan tetap diambil oleh sekelompok elit yang sering kali jauh dari kondisi riil masyarakat.

Aksi kolektif

Partisipasi yang berarti harus berujung pada tindakan bersama. Mengingat, krisis iklim merupakan tragedi yang tidak mungkin diatasi secara individu. Pada tingkat pribadi, setiap orang dapat berkontribusi dalam menciptakan norma baru; gaya hidup hemat energi, konsumsi rendah karbon, atau keberanian untuk menyuarakan isu lingkungan.

Di tingkat nasional, kebijakan menjadi kunci dalam meningkatkan kesadaran komunikasi lingkungan yang inklusif. Pemerintah perlu membuat aturan yang ketat terhadap pelaku pencemaran, memberikan insentif untuk energi bersih, serta memastikan distribusi manfaat yang adil.

Di tingkat global, solidaritas antar negara sangat penting. Tanpa koordinasi, tindakan iklim hanya akan terpecah dan tidak mampu mengatasi skala krisis. Semua tingkatan ini perlu saling terhubung melalui komunikasi yang inklusif. Tanpa komunikasi, aksi kolektif akan berjalan sendiri-sendiri dan tidak efektif.

Tantangan baru yang tidak kalah berat adalah melimpahnya penyebaran informasi palsu. Di media sosial, banyak narasi yang salah yang mengatakan perubahan iklim hanyalah rencana rahasia atau menyalahkan tindakan lingkungan terhadap kepentingan ekonomi masyarakat biasa. Narasi seperti ini dapat melemahkan semangat masyarakat dan menghambat tindakan nyata. Oleh karena itu, komunikasi lingkungan perlu hadir dengan narasi alternatif yang kuat.

Masalah iklim merupakan tantangan terbesar di masa kini. Namun, hal ini juga memberi kita kesempatan untuk menciptakan masyarakat yang lebih adil, solidaritas yang lebih kuat, serta hubungan yang lebih baik dengan lingkungan alam. Kunci dalam mewujudkan semua ini terletak pada komunikasi lingkungan yang lebih inklusif.

Dengan literasi yang seimbang, partisipasi yang nyata, dan tindakan bersama yang terencana, kita dapat bergerak maju menghadapi krisis ini. Tidak ada suara yang boleh diabaikan, tidak ada kelompok yang boleh ditinggalkan.

Dalam perayaan ulang tahun yang ke-65 Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran, refleksi ini terasa sangat penting. Komunikasi bukan hanya ilmu yang kita ajarkan di kelas, tetapi juga tanggung jawab moral untuk meningkatkan kualitas kehidupan bersama.

Mari kita jadikan komunikasi lingkungan yang inklusif sebagai warisan ilmiah dan kontribusi nyata bagi bangsa. Karena pada akhirnya, bumi ini bukan hanya milik kita. Ia adalah amanat untuk keturunan kita. Dan, cara kita berkomunikasi hari ini akan menentukan dunia seperti apa yang akan mereka tinggali nanti.***

664SHARES1.4kVIEWS
Pimpinan Redaksi
Author: Pimpinan Redaksi

Menulis membaca dan membagikan

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
error: Content is protected !!
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x