Strategi Komunikasi Humas Pemerintah Menghadapi Fenomena Cancel Culture di Era Digital

Jakarta, 21 Juli 2025 – Di tengah derasnya arus informasi digital, pemerintah dihadapkan pada tantangan komunikasi publik yang semakin kompleks, salah satunya adalah fenomena cancel culture. Strategi komunikasi humas pemerintah kini dituntut untuk lebih adaptif, transparan, dan berorientasi pada kepercayaan publik guna merespons dinamika sosial yang berkembang sangat cepat di platform digital.

Apa Itu Cancel Culture?

Cancel culture adalah praktik sosial di mana individu atau institusi diboikot secara massal di media sosial atau publik karena dianggap melakukan kesalahan, pelanggaran moral, atau tindakan yang kontroversial. Fenomena ini semakin marak seiring meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap isu-isu seperti korupsi, diskriminasi, hingga pelanggaran etika oleh pejabat publik.

Di Indonesia, cancel culture telah berdampak langsung pada persepsi publik terhadap pemerintah. Dalam beberapa kasus, hanya dalam hitungan jam setelah sebuah video atau pernyataan viral, tekanan dari warganet dapat memaksa institusi pemerintah untuk melakukan klarifikasi, pencopotan jabatan, atau merumuskan ulang kebijakan.


Tantangan Komunikasi Pemerintah di Era Cancel Culture

  1. Disrupsi Informasi dan Kecepatan Viralisasi
    Dalam hitungan menit, informasi – benar atau salah – dapat viral dan memicu opini publik. Humas pemerintah dituntut untuk merespons dengan cepat, tepat, dan berbasis data.
  2. Distrust terhadap Lembaga Publik
    Kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah bisa menurun drastis akibat satu insiden viral. Tanpa manajemen komunikasi krisis yang baik, reputasi institusi bisa hancur permanen.
  3. Narasi Tunggal vs. Kebebasan Digital
    Pemerintah sering kali terjebak pada pola komunikasi satu arah. Di era digital, masyarakat menghendaki dialog dua arah yang jujur, terbuka, dan berempati.

Strategi Komunikasi Humas Menghadapi Cancel Culture

1. Monitoring Sentimen Digital Real-Time

Penggunaan alat analitik media sosial seperti Brandwatch, Drone Emprit, atau Awario menjadi penting untuk mendeteksi tren negatif sejak dini. Dengan pemantauan 24 jam, humas dapat mengidentifikasi isu sebelum meledak menjadi krisis.

2. Penerapan Komunikasi Krisis yang Transparan

Transparansi adalah mata uang baru dalam membangun kepercayaan. Pemerintah harus menyampaikan informasi secara utuh, menjelaskan konteks, dan mengakui kesalahan jika memang terjadi.

3. Manajemen Influencer dan Stakeholder Kunci

Menggandeng tokoh masyarakat, pakar, dan influencer yang kredibel dapat membantu membentuk opini publik yang seimbang. Strategi ini juga berguna untuk menetralkan echo chamber di media sosial.

4. Pelatihan Juru Bicara Pemerintah

Juru bicara yang cakap, empatik, dan mampu menyampaikan pesan secara meyakinkan menjadi garda depan komunikasi publik. Pelatihan komunikasi krisis dan retorika digital mutlak diperlukan.

5. Konten Edukatif dan Preventif di Kanal Resmi

Pemerintah perlu aktif membuat konten edukatif terkait kebijakan, klarifikasi isu, dan transparansi kinerja dalam format visual, infografik, dan video pendek yang mudah dipahami publik digital.


Studi Kasus: Respon Humas Kemenhub pada Insiden TikTok Viral

Salah satu contoh penanganan cancel culture yang sukses adalah respon cepat Kementerian Perhubungan saat beredar video TikTok yang menuding pungli petugas pelabuhan. Humas Kemenhub segera melakukan klarifikasi publik, mengedepankan data CCTV, dan membuka jalur aduan resmi. Respons tersebut menekan persepsi negatif dan bahkan dipuji oleh netizen sebagai contoh transparansi pemerintah.


Reputasi Adalah Aset, Bukan Bonus

Era digital menuntut pemerintah untuk tidak hanya bekerja baik, tetapi juga terlihat bekerja baik. Cancel culture bisa menjadi pemicu percepatan reformasi birokrasi, jika disikapi dengan strategi komunikasi yang cerdas dan berintegritas.

Kepala Biro Humas di beberapa kementerian kini mulai mengembangkan unit komunikasi digital khusus yang bertugas merancang narasi proaktif, menangkal hoaks, dan mengelola persepsi. Pendekatan ini sejalan dengan prinsip governance by communication di era 4.0.

Penutup

Fenomena cancel culture bukan sekadar tren sosial, melainkan refleksi tuntutan masyarakat terhadap akuntabilitas dan keterbukaan pemerintah. Humas pemerintahan harus mampu bertransformasi menjadi pengelola narasi, fasilitator dialog, dan penjaga reputasi negara dalam medan komunikasi yang semakin dinamis.

Jika pemerintah gagal mengelola komunikasi publik secara baik, bukan hanya kebijakan yang ditolak — tapi juga kepercayaan publik yang hilang

How useful was this post?

Click on a star to rate it!

Average rating 5 / 5. Vote count: 5557

No votes so far! Be the first to rate this post.

reni hartuti
Author: reni hartuti

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *