Manufaktur Tunggu ‘Jamu Kuat’ untuk Capai Target Ekonomi 5,4%

kompasia.com, JAKARTA – Industri manufakturmengharapkan adanya dorongan stimulus, baik berupa kebijakan fiskal maupun nonfiskal, agar dapat mempercepat pertumbuhan untuk mendukung target yang ditetapkanpertumbuhan ekonomi Indonesia 5,4% pada 2026.

Kalangan pengusaha mempertimbangkan bahwa kinerja sektor manufaktur, sebagai penggerak utama perekonomian nasional, perlu tumbuh di atas 5% agar mampu mencapai target pertumbuhan ekonomi tersebut. Sementara itu, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan tingkat pertumbuhan sektor manufaktur terhadap produk domestik bruto (PDB) sebesar 4,31% (year-on-year/yoy) pada kuartal II/2025.

Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia untuk Bidang Perindustrian, Saleh Husin menyatakan, kontribusi sektor manufaktur terhadap PDB saat ini masih tetap stabil di kisaran 18%-19%.

Data BPS menunjukkan bahwa kontribusi sektor industri pengolahan terhadap PDB mencapai 18,67% yoy pada kuartal II/2025. Namun, angka ini lebih rendah dibandingkan dengan kuartal sebelumnya yang berada di level 19,25% yoy. Di sisi lain, jika diperbandingkan dengan kuartal II/2024 yang mencapai 18,52% yoy, kontribusi sektor industri pengolahan pada kuartal kedua tahun ini tetap lebih besar.

“Dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 5,4%, maka sektor manufaktur perlu berkembang antara 4,8% hingga 5,5%,” kata Saleh kepadaBisnis, Kamis (21/8/2025)

Menurutnya, angka ini lebih tinggi dibandingkan tren lima tahun terakhir yang cenderung stabil di bawah 4,5%. Artinya, diperlukan percepatan yang signifikan melalui perbaikan iklim bisnis, dorongan investasi, serta peningkatan ekspor produk berbasis nilai tambah.

Selain itu, Saleh menyampaikan, sektor manufaktur perlu mendapatkan insentif fiskal dan nonfiskal yang tepat sasaran, sesuai dengan kebutuhan industri masing-masing.

“Pertama, insentif fiskal yang berbasis kinerja, seperti pengurangan pajak yang terkait dengan pencapaian investasi, pengadaan pekerjaan, atau penerapan teknologi ramah lingkungan,” ujar Saleh.

Artinya, pemerintah mampu memberikan insentif pengurangan pajak kepada sektor yang berkontribusi signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja serta teknologi yang ramah lingkungan.

Kedua, dukungan penelitian dan pengembangan seperti skema pengurangan pajak yang dipercepat untukresearch and development(Penelitian dan Pengembangan) serta pendidikan vokasional yang perlu diperkuat agar sektor industri mampu meningkatkan kualitasnya dengan sumber daya yang memadai.

“Ketiga, insentif untuk pengolahan lanjutan dan penggantian impor yang berfokus pada sektor-sektor yang mampu menurunkan defisit neraca perdagangan, seperti bahan kimia dasar, farmasi, serta komponen elektronik,” ujarnya.

Keempat, tidak kalah penting adalah dukungan terhadap industri ramah lingkungan melalui pemberian insentif. Hal ini menjadi sangat penting seiring dengan agenda peralihan energi, insentif bagi industri rendah karbon (misalnya renewable-based manufacturing, circular economy).

Kelima, Kadin juga berharap pemerintah menyediakan dukungan bagi industri kecil dan menengah, misalnya dengan penghapusan bea masuk bahan baku untuk sektor yang mengandalkan tenaga kerja agar persaingan menjadi lebih seimbang.

Insentif Manufaktur untuk Belanja Masih Kurang Tepat Sasaran

Sejauh ini, sektor manufaktur memang menjadi penerima terbesar dari pengeluaran pajak pemerintah. Namun, pengeluaran insentif ini dianggap belum tepat sasaran.

Di dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026, anggaran pajak untuk sektor industri pengolahan ditetapkan sebesar Rp141,7 triliun pada tahun 2026, meningkat dibandingkan proyeksi tahun ini yang mencapai Rp137,2 triliun.

Peningkatan pengeluaran pajak di sektor industri pengolahan telah terjadi selama beberapa tahun terakhir. Pada tahun 2021, insentif pajak yang diberikan pemerintah kepada sektor manufaktur mencapai Rp72,3 triliun. Bantuan yang disediakan meningkat pada tahun 2022 menjadi Rp82,2 triliun, kemudian naik menjadi Rp88,8 triliun pada tahun 2023, dan mencapai Rp98,9 triliun pada tahun 2024.

Saleh menganggap bahwa selama ini struktur insentif yang diberikan masih bersifat umum, belum sepenuhnya tepat sasaran. Banyak fasilitas sepertitax holiday, tax allowance, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) DTP, dan lainnya yang lebih terasa oleh industri besar atau padat modal, sementara sektor menengah-kecil yang lebih rentan justru tidak memanfaatkannya secara optimal.

“Masalah non-fiskal lebih mendominasi. Tantangan birokrasi, kepastian hukum, izin usaha, biaya logistik yang tinggi, keterbatasan pasokan energi, serta ketergantungan pada bahan baku impor menyebabkan insentif fiskal tidak efektif,” katanya.

Di sisi lain, permintaan global yang saat ini melemah akibat tekanan perlambatan ekonomi global karena konflik geopolitik serta persaingan impor murah menyebabkan insentif tidak langsung tidak berubah menjadi peningkatan produksi.

Tidak hanya itu, pihaknya masih menemukan adanya keterbatasan dalam penyerapan pelaku usaha akibat hambatan teknis.

“Banyak perusahaan masih belum memiliki kemampuan manajerial/teknis yang memadai untuk mengikuti ketentuan insentif, seperti TKDN, industri hijau, atau digitalisasi,” tutupnya.

Sementara itu, Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen (APSyFI) berharap adanya insentif fiskal khusus yang ditujukan pada industri-industri yang sedang mengalami kesulitan. Hal ini dilakukan karena sejumlah pabrik diduga menghentikan operasionalnya akibat berbagai tantangan di pasar lokal.

Ketua Umum APSyFI Redma Gita Wirawasta menyampaikan, insentif fiskal yang diberikan pemerintah selama ini hanya berhasil meningkatkan angka realisasi investasi baru. Di sisi lain, kinerja industriexistingtertekan hingga banyak kapasitas yang tidak terpakai atau berhenti berproduksi.

“Ini juga sudah cukup menarik [untuk menarik investasi baru], tinggal selanjutnya pemerintah memberikan insentif agar kapasitas produksi yang terhenti dapat kembali beroperasi,” ujar Redma kepadaBisnis, Kamis (21/8/2025).

Di sisi lain, Redma juga memperhatikan investasi existingyang saat ini mengalami henti produksi tidak dipertimbangkan. Padahal, kapasitas produksi yang tidak digunakan saat ini secara nilai investasi diperkirakan lebih besar dibandingkan dengan investasi baru.

Selanjutnya, berdasarkan data Kementerian Investasi dan Hilirisasi/BKPM, realisasi investasi di sektor industri tekstil yang masuk pada semester I/2025 mencapai Rp10,2 triliun dengan 5.406 proyek. Di triwulan II/2025, besaran investasinya mencapai Rp4,82 triliun.

“Maka insentif yang diberikan harus secara langsung berupa pengurangan atau penurunan biaya produksi dalam industri serta mengurangi modal kerja,” katanya.

Menurutnya, beberapa insentif fiskal yang perlu diutamakan untuk meningkatkan kapasitas produksi tekstil saat ini adalah pengurangan PPN, diskon tarif listrik, harga gas bumi tertentu (HGBT) dengan pasokan yang andal sebesar 100%, serta subsidi bunga untuk modal kerja.

“Tetapi insentif ini semuanya perlu dikaitkan dengan pembelian bahan baku lokal agar manfaatnya lebih merata dan memperkuat integrasi hulu hilir sekaligus melakukan substitusi impor,” ujarnya.

Bahan Pakaian Perlu Ditingkatkan Kualitasnya

Redma menegaskan bahwa sektor manufaktur sebagai tulang punggung pertumbuhan ekonomi dan industri padat karya yang berperan dalam pemerataan harus berkembang lebih cepat daripada tingkat pertumbuhan ekonomi nasional.

“Jika target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,4%, maka sektor manufaktur harus mencapai 8,7%. Hal ini akan menjadi kontribusi terhadap PDB yang lebih dari 25%,” tambahnya.

Dalam keterangannya terpisah, Wakil Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) David Leonardi menyatakan bahwa dengan target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,4% pada tahun mendatang, industri tekstil dan produk tekstil (TPT) perlu mengalami pertumbuhan antara 6% hingga 7%.

Pada saat ini, kontribusi sektor industri TPT terhadap PDB nasional berada dalam kisaran 1,02%. Dengan rencana pertumbuhan ekonomi sebesar 5,4% pada tahun mendatang, sektor ini harus berkembang sekitar 6–7% agar pengaruhnya menjadi lebih nyata,” ujar David.

Menurut David, jika sektor TPT hanya mampu berkembang di bawah 5%, dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi nasional akan kurang berarti.

Sementara itu, pada kuartal II/2025, sektor tekstil dan pakaian bergerak naik sebesar 4,35% secara tahunan, atau mengalami penurunan dibandingkan kuartal sebelumnya yang mencatat pertumbuhan sebesar 4,64% year on year.

“Namun, bila dapat dikembangkan, sektor TPT tidak hanya akan memperkuat ekspor nonmigas, tetapi juga menjadi penggerak penyerapan tenaga kerja yang saat ini mencapai sekitar 3 juta orang,” katanya.

800SHARES9.3kVIEWS
Pimpinan Redaksi
Author: Pimpinan Redaksi

Menulis membaca dan membagikan

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
error: Content is protected !!
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x